![Cerita Baruku Ikan Patin 01](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhdBad0ZPsYAb4FnjOeG-jiDaZ5awktc4aeMYsV6rUbeAHsdNYgaGsGpNXpOYOmaUt156Bm57WjBHbRWOuae43SJwvVU3atVzArT0H7RJptFY1g-CCMNPJJdRoue5KKSReO0L8aMBanZMI/s400/3a7.gif)
Ikan
patin adalah salah satu jenis ikan sungai atau air tawar. Ikan jenis
ini memiliki bentuk yang unik. Badannya panjang sedikit memipih, berwana
putih perak dengan punggung berwarna kebiru-biruan, tidak bersisik,
mulutnya kecil, memiliki sungut berjumlah 2-4 pasang yang berfungsi
sebagai alat peraba. Ikan patin termasuk ikan yang hidup di dasar sungai
dan lebih banyak mencari makan pada malam hari.
/* Cerita Baruku*/
Ikan
patin banyak dijumpai di Provinsi Riau, Indonesia. Menurut masyarakat
setempat, dulunya ikan ini hanya ada di daerah aliran Sungai Indragiri,
Sungai Siak, Sungai Kampar, dan Sungai Rokan. Ikan patin yang asli
adalah berasal dari sungai dan memiliki aroma khas. Selain itu, ikan
patin yang dari sungai biasanya memiliki ukuran lebih panjang dan lebih
berat. Pada era tahun 1970-an hingga 1980-an, masyarakat Riau masih
sering menjumpai ikan patin yang panjangnya sampai satu meter lebih.
/* Cerita Baruku*/
Kini,
ikan patin yang asli dari sungai sudah jarang dijumpai. Maka sejak 10
tahun terakhir, budidaya ikan patin sudah mulai ramai dilakukan oleh
masyarakat Riau. Namun, hasilnya sangat berbeda dengan ikan asli dari
sungai. Ikan patin hasil budidaya ukurannya lebih pendek dan ringan,
rata-rata hanya sepanjang 25-50 centimeter dengan berat kurang dari satu
kilogram dan terkadang masih berbau tanah. Walaupun demikian, jika ikan
patin tersebut dimasak dengan bumbu yang benar, mencium aromanya saja
sudah mampu menggugah selera bagi penikmatnya. Oleh karenanya, di
sejumlah warung makan di Riau, menu masakan ikan patin menjadi salah
satu menu favorit khas Melayu, khususnya masakan gulai ikan patin dan
asam pedas ikan patin.
/* Cerita Baruku*/
Namun, senikmat dan segurih apa pun ikan
patin, tidak semua orang Melayu mau memakannya. Kenapa sebagian orang
Melayu tidak mau memakan ikan patin? Mereka menganggap ikan patin itu
sebagai keluarga atau leluhurnya. Terkait dengan hal ini, ada sebuah
cerita rakyat yang telah melegenda di kalangan masyarakat Riau. Cerita
rakyat tersebut mengisahkan seorang nelayan yang bernama Awang Gading,
yang menemukan seorang bayi perempuan di atas batu di tepi sungai saat
ia pulang memancing. Konon, bayi itu adalah keturunan raja ikan di
sungai tersebut. Oleh karena merasa iba, si nelayan membawa bayi itu
pulang ke rumahnya untuk ia rawat dan besarkan. Bayi itu diberinya nama
Dayang Kumunah. Selama dalam asuhannya, si Nelayan membekali Dayang
Kumunah dengan berbagai ilmu pengetahuan dan budi pekerti yang baik,
sehingga ia pun tumbuh menjadi seorang gadis cantik yang cerdas dan
berbudi pekerti luhur. Setiap pemuda yang melihatnya akan terpikat
kepadanya.
/* Cerita Baruku /* Cerita Baruku*/*/
Pada suatu hari, seorang pemuda tampan dan kaya yang
bernama Awangku Usop lewat di depan rumah Dayang Kumunah. Pemuda itu
melihatnya sedang menjemur pakaian. Saat itu pula, Awangku Usop langsung
jatuh hati kepada Dayang Kumunah dan berniat memperistrinya. Beberapa
hari kemudian, Awangku Usop datang ke rumah Dayang Kumunah untuk
meminangnya. Dayang Kumunah bersedia menerima pinangan Awang Usop,
asalkan ia juga bersedia memenuhi syaratnya. Syarat apa yang akan
diajukan Dayang Kumunah kepada Awang Usop? Mampukah Awang Usop memenuhi
syarat itu? Ingin tahu kisah selengkapnya? Ikuti kisahnya dalam cerita
Legenda Ikan Patin berikut ini.
/* Cerita Baruku*/
* * *
Alkisah, pada zaman
dahulu kala, di Tanah Melayu hiduplah seorang nelayan tua yang bernama
Awang Gading. Ia tinggal seorang diri di tepi sebuah sungai yang luas
dan jernih. Walaupun hidup seorang diri, Awang Gading selalu merasa
bahagia. Ia mensyukuri setiap nikmat yang diberikan Tuhan kepadanya.
Pekerajaan sehari-harinya adalah menangkap ikan di sungai dan mencari
kayu di hutan.
/* Cerita Baruku*/
Suatu sore, sepulang dari hutan, Awang Gading
pergi mengail di sungai. “Ah, semoga hari ini aku mendapat ikan besar,”
gumam Awang Gading. Usai melemparkan kailnya ke dalam air, ia berdendang
sambil menunggu kailnya. Berapa saat kemudian, umpannya pun di makan
ikan. Dengan hati-hati disentakkannya kail itu. Apa yang terjadi?
Ternyata ikannya terlepas. Lalu dipasangnya lagi umpan pada mata
kailnya. Berkali-kali umpannya di makan ikan, namun saat kailnya
ditarik, ikannya terlepas lagi.
/* Cerita Baruku*/
“Air pasang telan ke insang
Air surut telan ke perut
Renggutlah…!
Biar putus jangan rabut,”
terdengar dendang Awang Gading sambil melempar pancingnya kembali.
Hari
sudah mulai gelap. Namun, tak seekor ikan pun yang diperolehnya.
“Rupanya, aku belum beruntung hari ini,” gumam Awang Gading. Usai
bergumam, Awang Gading pun bergegas pulang. Namun, baru saja melangkah,
tiba-tiba ia mendegar tangisan bayi. Dengan perasaan takut, Awang Gading
mencari asal suara itu. Tak lama mencari, ia pun menemukan bayi
perempuan yang mungil tergolek di atas batu. Tampaknya bayi itu baru
saja dilahirkan oleh ibunya. Anak siapa gerangan? Kasihan, ditinggal
seorang diri di tepi sungai,” Ucap Awang Gading dalam hati. Oleh karena
merasa iba, dibawanya bayi itu pulang ke gubuknya.
/* Cerita Baruku*/
Malam itu juga
Awang Gading membawa bayi ke rumah tetua kampung. “Awang,
berbahagialah, karena kamu dipercaya raja penghuni sungai untuk
memelihara anaknya. Rawatlah ia dengan baik,” Tetua Kampung berpesan.
“Terima kasih, Tetua! Saya akan merawat bayi ini dengan baik. Semoga
kelak menjadi anak yang cerdas dan berbudi pekerti yang baik,” jawab
Awang Gading mengharap.
/* Cerita Baruku*/
Keesokan harinya, Awang Gading mengadakan
selamatan atas hadirnya bayi di tengah kehidupannya. Ia mengundang
seluruh tetangganya. Awang Gading memberi nama bayi itu Dayang Kumunah.
Usai acara tersebut, Awang Gading menimang-nimang sang bayi sambil
mendendang, “Dayang sayang, anakku seorang…Cepatlah besar menjadi gadis
dambaan.”
/* Cerita Baruku*/
Kehadiran Dayang Kumunah dalam kehidupannya, membuat
Awang Gading semakin giat bekerja. Ia sangat sayang dan perhatian
terhadap Dayang. Awang Gading juga membekali Dayang Kumunah berbagai
ilmu pengetuhan dan pelajaran budi pekerti. Setiap hari ia juga mengajak
Dayang pergi mengail atau mencari kayu di hutan untuk mengenal
kehidupan alam lebih dekat.
/* Cerita Baruku*/
Waktu terus berjalan. Dayang Kumunah
tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik dan berbudi pekerti luhur. Ia
juga sangat rajin membantu ayahnya. Namun sayang, Dayang Kumunah tidak
pernah tertawa.
Suatu hari, seorang pemuda tampan dan kaya lewat
di depan rumah Dayang. Pemuda itu bernama Awangku Usop. Saat melihat
Dayang Kumunah sedang menjemur pakaian, Awangku Usop langsung jatuh hati
kepadanya dan berniat untuk segera meminangnya.
Beberapa hari kemudian, Awangku Usop meminang Dayang Kumunah pada Awang Gading.
“Maaf, Tuan! Nama saya Awangku Usop. Saya dari desa sebelah,” kata Usop memperkenalkan diri.
“Ada apa gerangan, Ananda Awangku Usop?” tanya Awang Gading.
“Saya ke mari hendak meminang putri Tuan” pinang Awangku Usop.
Awang
Gading tidak langsung memberikan jawaban. Keputusannya ada pada Dayang
Kumunah. Lalu ia meminta pendapat Dayang Kumunah. “Anakku, Dayang!
Bagaimana pendapatmu tentang pinangan Awangku Usop?” tanya Awang Gading
pada Dayang yang sedang duduk di sampingya. Dayang Kumunah langsung
menanggapi pinangan pemuda itu. “Kanda Usop, sebenarnya kita berasal
dari dua dunia yang berbeda. Saya berasal dari sungai dan mempunyai
kebiasaan yang berlainan dengan manusia. Saya bersedia menjadi istri
kanda Usop, tetapi dengan syarat, jangan pernah meminta saya untuk
tertawa,” pinta Dayang Kumunah. Awangku Usop menyanggupi syarat itu.
“Baiklah! Saya berjanji untuk memenuhi syarat itu,” kata Awangku Usop.
/* Cerita Baruku*/
Seminggu
kemudian, mereka pun menikah. Pesta pernikahan mereka berlangsung
meriah. Semua kerabat dan tetangga kedua mempelai diundang. Para
undangan turut gembira menyaksikan kedua pasangan yang serasi tersebut.
Dayang Kumunah gadis yang sangat cantik dan Awangku Usop seorang pemuda
yang sangat tampan. Mereka pun hidup berbahagia, saling mencintai dan
saling menyayangi.
/* Cerita Baruku*/
Namun, kebahagiaan mereka tidak berlangsung
lama. Beberapa minggu setelah mereka menikah, Awang Gading meninggal
dunia karena sakit. Dayang Kumunah sangat sedih kehilangan ayah yang
telah mendidik dan membesarkannya, meskipun bukan ayah kandungnya
sendiri. Hingga berbulan-bulan lamanya, hati Dayang Kumunah diselimuti
perasaan sedih. Untungnya, kesedihan itu segera terobati dengan
kelahiran anak-anaknya yang berjumlah lima orang. Kehadiran mereka telah
menghapus ingatan Dayang Kumunah kepada “ayahnya”. Ia pun kembali
bahagia hidup bersama suami dan kelima anaknya.
Namun, Awang Usop
merasa kebahagiaan mereka kurang lengkap sebelum melihat Dayang Kumunah
tertawa. Memang, sejak pertama kali bertemu hingga kini, Awang Usop
belum pernah melihat istrinya tertawa.
/* Cerita Baruku*/
Suatu sore, Dayang Kumunah
berkumpul bersama keluarganya di teras rumah. Saat itu, si Bungsu mulai
dapat berjalan dengan tertatih-tatih. Semua anggota keluarga tertawa
bahagia melihatnya, kecuali Dayang Kumunah. Awang Usop meminta istrinya
ikut tertawa. Dayang Kumunah menolaknya, namun suaminya terus mendesak.
Akhirnya ia pun menuruti keinginan suaminya. Saat tertawa itulah,
tiba-tiba tampak insang ikan di mulutnya. Menyadari hal itu, Dayang
Kumunah segera berlari ke arah sungai. Awangku Usop beserta anak-anaknya
heran dan mengikutinya.
/* Cerita Baruku*/
Sesampainya di tepi sungai,
perlahan-lahan tubuh Dayang Kumunah menjelma menjadi ikan dan segera
melompat ke dalam air. Awang Usop pun baru menyadari kekhilafannya.
“Maafkan aku, istriku! Aku sangat menyesal telah melanggar janjiku
sendiri, karena memintamu untuk tertawa. Kembalilah ke rumah, istriku!”
bujuk Awangku Usop.
/* Cerita Baruku*/
Namun, semua sudah terlambat. Dayang Kumunah
telah terjun ke sungai. Ia telah menjadi ikan dengan bentuk badan cantik
dan kulit mengilat tanpa sisik. Mukanya menyerupai raut wajah manusia.
Ekornya seolah-olah sepasang kaki manusia yang bersilang. Orang-orang
menyebutnya ikan patin.
Sebelum menyelam ke dalam air, Dayang Kumunah berpesan kepada suaminya, “Kanda, peliharalah anak-anak kita dengan baik.”
Awangku
Usop dan anak-anaknya sangat bersedih melihat Dayang Kumunah yang
sangat mereka cintai itu telah menjadi ikan. Mereka pun berjanji tidak
akan makan ikan patin, karena dianggap sebagai keluarga mereka. Itulah
sebabnya sebagian orang Melayu tidak makan ikan patin.
/* Cerita Baruku*/
* * *
Cerita
rakyat di atas termasuk ke dalam cerita teladan yang mengandung
nilai-nilai moral. Nilai-nilai tersebut di antaranya kewajiban mendidik
anak, berbudi pekerti luhur, dan pantangan melanggar janji. Sifat
kewajiban mendidik anak tercermin pada sifat Awang Gading yang telah
mendidik dan membekali berbagai ilmu pengetahuan dan budi pekerti pada
Dayang Kumunah. Sifat berbudi pekerti luhur tercermin pada sifat Dayang
Kumunah. Meskipun cantik, ia tetap tidak sombong. Sementara itu
pantangan yang dilanggar oleh Awangku Usop adalah melanggar janji. Ia
telah mengingkari janjinya untuk tidak meminta Dayang Kumunah tertawa.
/* Cerita Baruku*/
Mendidik
anak dengan baik dan budi pekerti luhur patut untuk dijadikan sebagai
suri teladan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi orang Melayu, mendidik
anak adalah kewajiban orang tua, karena telah menjadi perintah ajaran
agama dan adat lembaga. Mendidik dan memelihara anak tidak boleh
diabaikan, karena kewajiban orang tua dalam mendidik anak tidak hanya
dipertanggungjawabkan di dunia, tetapi juga di akhirat kelak. Oleh
karena itu, sifat ini sangat diutamakan dalam kehidupan orang-orang
Melayu. Banyak petuah amanah yang berkaitan dengan mendidik anak yang
diwariskan dalam budaya Melayu, salah satu di antaranya adalah seperti
berikut:
anak dididik sejak kecil
anak diajar sejak terpancar
anak dibela selamanya
Sementara
sifat suka mengingkari janji sangat dipantangkan dalam kehidupan
orang-orang Melayu, karena sifat ini termasuk salah satu ciri orang
munafik. Petuah amanah tentang sifat munafik juga banyak diwariskan
dalam budaya Melayu, di antaranya seperti berikut:
apa tanda orang munafik,
lidah bercabang, akal berbalik